Ini jadi buku novel ketiga dari Mahfud Ikhwan yang saya baca nyaris berurutan. Jika debut novel Mahfud Ikhwan, Ulid, adalah drama yang kental dengan nuansa keluarga, disusul novel kedua, Kambing dan Hujan yang memberikan kisah cinta yang getir dan alot, maka novel ketiganya, Dawuk, adalah sebuah tragedi. Membaca buku-buku Cak Mahfud adalah sama artinya dengan menghidupi kehidupan sederhana dengan rasa syukur semestinya. Pada Dawuk, Warto Kemplung, tokoh utama kisah ini menceritakan kisah cinta Mat Dawuk dan Inayatun kepada siapapun di warung kopi langganannya. Parahnya, dua sejoli ini memang benar-benar menjadi bulan-bulanan masyarakat Rumbuk Randu. Terlepas dari semua itu, bagian paling menarik di kisah ini bagi saya justru pada Bab Dendam Tiga Turunan. Dalam bab ini ada satu hal menggelitik ketika Dulawi menaruh tumpukan jati di pundak Sinder Harjo yang membuat gaduh. Sinder, bagi sebagian yang masih asing, adalah pengawas kehutanan. Sinder yang muncul di kisah Dawuk bukan kali pertama dimunculkan Mahfud Ikhwan dalam kisahnya, sebagaiman Warto kemplung dalam kisah ini juga membuat saya penasaran bagaimana kelanjutan kisahnya di buku kedua lanjutan kisah ini dalam kisah Anwar Tohari Mencari Mati.
D S