Untuk Aan Mansyur
Noche
correr no se donde
aqui o alla
singularos recodos desnudos
basta corer!
atau
Malam
berlari tak tahu kemana
kesini atau kesana
tikungan curam satu-satunya
terus berlari!
Saya selalu takjub dengan kesusastraan Argentina. Mereka begitu beragam. Saking beragamnya kumpulan penulis ini seperti gangster, seperti yang dikatakan Roberto Bolaño dalam derivas de la pesada. Saya juga tak keberatan mengamini pernyataan itu. Buktinya akan saya berikan, sambil mengawali rentetan nama-nama yang harus dimulai tentu oleh Jorge Luis Borges. Yang terbesar dari semuanya, dan saya rasa sampai detik ini tak sedikit penulis Argentina terpengaruh setidaknya dari Ficciones dan El Aleph.
Bila kau mau sedikit mundur kau akan berjumpa Macedonio Fernandez, tapi mari kita berjalan ke masa yang lebih terkini dimana kanon sastra Argentina diisi Roberto Arlt, Julio Cortazar, Adolfo Bioy Casares, Silvina Ocampo hingga di masa kini kau akan menemukan Cesar Aira, Andres Neuman dan Mariana Enriquez. Baik saya tak bermaksud menyuruh apa lagi belagak pamer referensi-referensi yang bejibun, tapi saya amat ingin nama-nama itu bisa sampai dibaca di tanah kelahiran saya, karena mereka begitu menawan dan sebaiknya tak boleh dilewatkan.
Kali ini semua akan terpusat pada Alejandra Pizarnik. Seorang penyair perempuan yang memukau dan seorang surealis. Kompatriotnya Julio Cortazar memberikan pujian sekaligus menyebut puisi-puisi Pizarnik adalah sebuah kebisingan besar. Hal itu beralasan dan menyimak puisi-puisinya bagi saya berarti siap untuk masuk ke terowongan dengan sisi-sisinya yang gelap sekaligus adiktif.
Semua pasti akan berawal pada debut kumpulan puisinya berjudul La tierra mas ajenas (Negeri yang Paling Asing (1955)) . Tema-tema Puisi Pizarnik kerap bertaburan tema-tema malam, kegelapan, kematian, kegilaan, dan alam. Tema-tema semacam ini tak asing sejujurnya bagi saya, setelah mengalami perjumpaan dengan Les poetes maudits. Pizarnik yang juga memuja Rimbaud pada epigraf buku ini tentu paham betul jika puisi atau kepenyairan miliknya akan berawal dari penyair terkutuk perancis tersebut. Baiklah itu terdengar berlebihan, tapi saya terkadang memiliki kecurigaan pada epigraf-epigraf yang memancing analisa-analisa gembel tentang kemungkinan-kemungkinan puisi-puisi di buku ini.
Pizarnik juga menuliskan sebuah puisi narasi tentang Dedalus, tokoh dari novel James Joyce yang berjudul sama. Saya lampirkan sedikit potongannya
Dedalus Joyce
Hombre funesto de claves nocturnas y cuerpo desnudo junto al rio profundo de brillantes escupidas. Hombre de ojos anti-miopes exploradores de infinidad.
atau
Dedalus Joyce
Pria bencana dengan kunci malam hari dan tubuh telanjang di samping sungai yang dalam dengan ludah yang cemerlang. Pria dengan mata anti-rabun menjelajahi ketidakterbatasan.
Memahami Pizarnik saya yakin tak akan sederhana. Tapi izinkan saya menafsirkan setidaknya untuk kali ini adalah membayangkan Dedalus, si penjelajah yang membangkang dari ajaran Katholik serta hal-hal yang sejatinya lumrah sebagai orang Irlandia dan kemudian memutuskan eksil dari negerinya. Keterasingan tentu adalah hal yang mau tak mau disepakati sebagai eksil pada akhirnya. Sebagaimana kita akan menjumpai hal-hal serupa dalam cerita-cerita James Joyce.
Puisi berikutnya yang menarik perhatian saya adalah:
YO SOY...
mis alas?
dos pétalos podridos
mi razón?
copitas de vino agrio
mi vida?
vacío bien pensado
mi cuerpo?
un tajo en la silla
mi vaivén?
un gong infantil
mi rostro?
un cero disimulado
mis ojos?
ah! trozos de infinito
atau
SAYA ADALAH...
sayapku?
dua kelopak busuk
alasanku?
cangkir anggur asam
hidupku?
dipikirkan dengan baik yang kosong
tubuhku?
luka di kursi
ayunanku?
gong anak-anak
wajahku?
nol yang tersembunyi
mataku?
Ah! potongan tak terhingga
Bagaimana Pizarnik melihat dirinya dalam puisi ini, cukup mengejutkan saya. Alasannya tak bisa saya temukan selain analogi-analogi yang tak lumrah, dan saya artikan dengan sembrono sebagai sebuah kegilaan. Lagi pula untuk apa perlunya untuk mengetahui seutuhnya, toh ini tetap puisi bukan? Saya, kamu dan siapa saja bebas mengartikannya, merasakannya dan juga bersama-sama merasakan kegilaan dan keterasingannya.
Banyak puisi di buku ini yang saya yakin akan menarik bila berhasil saya terjemahkan dan diartikan dengan tepat dalam bahasa Indonesia, tapi itu tentu memerlukan banyak upaya dan riset tentang hal yang menurut saya akan selalu mengasyikan.
D S