Wednesday, 15 January 2025

Negeri yang Paling Asing, Alejandra Pizarnik

 

Untuk Aan Mansyur



Noche

correr no se donde                                    

aqui o alla                                       

singularos recodos desnudos              

basta corer!   

                 

atau


Malam

berlari tak tahu kemana

 kesini atau kesana

 tikungan curam satu-satunya

 terus berlari!


Saya selalu takjub dengan kesusastraan Argentina. Mereka begitu beragam. Saking beragamnya kumpulan penulis ini seperti gangster, seperti yang dikatakan Roberto Bolaño dalam derivas de la pesada. Saya juga tak keberatan mengamini pernyataan itu. Buktinya akan saya berikan, sambil mengawali rentetan nama-nama yang harus dimulai  tentu oleh Jorge Luis Borges. Yang terbesar dari semuanya, dan saya rasa sampai detik ini tak sedikit penulis Argentina terpengaruh setidaknya dari Ficciones dan El Aleph.

Bila kau mau sedikit mundur kau akan berjumpa Macedonio Fernandez, tapi mari kita berjalan ke masa yang lebih terkini dimana  kanon sastra Argentina diisi Roberto Arlt, Julio Cortazar, Adolfo Bioy Casares, Silvina Ocampo hingga di masa kini kau akan menemukan Cesar Aira, Andres Neuman dan Mariana Enriquez. Baik saya tak bermaksud menyuruh apa lagi belagak pamer referensi-referensi yang bejibun, tapi saya amat ingin nama-nama itu bisa sampai dibaca di tanah kelahiran saya, karena mereka begitu menawan dan sebaiknya tak boleh dilewatkan.

Kali ini semua akan terpusat pada Alejandra Pizarnik. Seorang  penyair perempuan yang memukau dan seorang surealis. Kompatriotnya Julio Cortazar memberikan pujian sekaligus menyebut  puisi-puisi Pizarnik adalah sebuah kebisingan besar. Hal itu beralasan dan menyimak puisi-puisinya bagi saya berarti siap untuk masuk ke terowongan dengan sisi-sisinya yang gelap sekaligus adiktif.

Semua pasti akan berawal pada debut kumpulan puisinya berjudul  La tierra mas ajenas (Negeri yang Paling Asing (1955)) . Tema-tema Puisi Pizarnik kerap bertaburan  tema-tema malam, kegelapan, kematian, kegilaan, dan alam.  Tema-tema semacam ini tak asing sejujurnya bagi saya, setelah mengalami perjumpaan dengan Les poetes maudits. Pizarnik yang juga memuja Rimbaud pada epigraf buku ini tentu paham betul jika puisi atau kepenyairan miliknya akan berawal dari penyair terkutuk perancis tersebut. Baiklah itu terdengar berlebihan, tapi saya terkadang memiliki kecurigaan pada epigraf-epigraf yang memancing analisa-analisa gembel tentang kemungkinan-kemungkinan puisi-puisi di buku ini.

Pizarnik juga menuliskan sebuah puisi narasi tentang Dedalus, tokoh dari novel James Joyce yang berjudul sama. Saya lampirkan sedikit potongannya

Dedalus Joyce

Hombre funesto de claves nocturnas y cuerpo desnudo junto al rio profundo de brillantes escupidas. Hombre de ojos anti-miopes exploradores de infinidad.

atau

Dedalus Joyce

Pria bencana dengan kunci malam hari dan tubuh telanjang di samping sungai yang dalam dengan ludah yang cemerlang. Pria dengan mata anti-rabun menjelajahi ketidakterbatasan.

               

Memahami Pizarnik saya yakin tak akan sederhana. Tapi izinkan saya menafsirkan setidaknya untuk kali ini adalah  membayangkan Dedalus, si penjelajah  yang membangkang dari ajaran Katholik serta hal-hal yang sejatinya lumrah sebagai orang Irlandia dan kemudian memutuskan eksil dari negerinya. Keterasingan tentu adalah hal yang mau tak mau disepakati sebagai eksil pada akhirnya. Sebagaimana kita akan menjumpai hal-hal serupa dalam cerita-cerita James Joyce.

Puisi berikutnya yang menarik perhatian saya adalah:

YO SOY...

mis alas?
dos pétalos podridos

mi razón?
copitas de vino agrio

mi vida?
vacío bien pensado

mi cuerpo?
un tajo en la silla

mi vaivén?
un gong infantil

mi rostro?
un cero disimulado

mis ojos?
ah! trozos de infinito

atau

SAYA ADALAH...

sayapku?

dua kelopak busuk

alasanku?

cangkir anggur asam

hidupku?

dipikirkan dengan baik yang kosong

tubuhku?

luka di kursi

ayunanku?

gong anak-anak

wajahku?

nol yang tersembunyi

mataku?

Ah! potongan tak terhingga

                Bagaimana Pizarnik melihat dirinya dalam puisi ini, cukup mengejutkan saya. Alasannya tak bisa saya temukan selain analogi-analogi yang tak lumrah, dan saya artikan dengan sembrono sebagai sebuah kegilaan. Lagi pula untuk apa perlunya untuk mengetahui seutuhnya, toh ini tetap puisi bukan? Saya, kamu dan siapa saja bebas mengartikannya, merasakannya dan juga bersama-sama merasakan kegilaan dan keterasingannya.

                Banyak puisi di buku ini yang saya yakin akan menarik bila berhasil saya terjemahkan dan diartikan dengan tepat dalam bahasa Indonesia, tapi itu tentu memerlukan banyak upaya dan riset tentang hal yang menurut saya akan selalu mengasyikan.


D S

No comments:

Post a Comment