Friday, 28 February 2025

Melancholy of Resistance, László Krasznahorkai

Beberapa hari lalu, saya melihat sebuah wawancara László Krasznahorkai dengan salah satu stasiun televisi Jerman.  Dalam wawancara itu ia membicarakan karya terbarunya, dan itu satu-satunya hal yang saya mengerti dalam acara itu karena jelas tak memahami bahasa kedua pembicara. Bagi saya melihat dia sehat dan bugar saja sudah cukup membuat senang. Di usianya yang memasuki enam setengah dekade, tak banyak perubahan dari kondisi fisik dirinya sejak pertama kali saya mendengar namanya dan membaca  karya pertamanya Satantango.

     Dalam setiap wawancaranya, ia kerap menegaskan hanya ingin menulis "satu buku saja". Satantango berungkali dia sebut menjadi buku itu, namun untungnya itu tak terjadi sehingga masih terus ada kesempatan untuk membaca buku-buku baru darinya dan belum lama saya memutuskan tuk membaca kembali  novel kedua miliknya, Melancholy of Resistance.

           Kisah yang menceritakan sebuah kehadiran sirkus paus di pusat kota.  Dari awal novel ini hendak menceritakan sebuah mimpi buruk. Semacam dendam yang tak kunjung pulih, walau telah dipulihkan oleh obat bernama waktu. Hal itu memang berlalu, tetapi tidak kunjung sebagai mana bunyi epigraf di awal cerita "It passes, but it does not pass away".
          Beberapa kritikus menyebutnya sebuah kisah komedi apokaliptik; beberapa menyebutnya novel surealistik. Seperti novel Laszlo sebelumnya, plot cerita sedikit lebih jelas terlihat, namun tetap dengan aliran narasi panjang.  Laszlo masih peduli dengan alur cerita cerita yang sistematis, dan lebih mengedepankan "kebiasaan unik" yang jarang ditemukan dalam novel-novel kebanyakan.
         Kisah dibuka dengan perjalanan pulang Nyonya Plauf setelah menerima sebuah kabar pembatalan yang membuatnya harus mengambil jalur kereta yang dipenuhi oleh orang-orang kelas bawah yang berbeda dengan dirinya. Di sebuah kota yang dinamis, penuh dengan begitu banyak pendatang, si tokoh utama Nyonya Eszter dan Suaminya berperang dengan kehidupan dan semua sisi gelap hidup mereka.
         Bila di novel pertama Laszlo lekat dengan sebuah penantian, maka di novel keduanya ini ia ingin memberikan sebuah mimpi buruk yang tak kunjung pergi. Hal itu terus menerus menghantui, tanpa bisa dicegah.

D S

No comments:

Post a Comment