Tuesday, 31 December 2024

Les Choses, Georges Perec

 Setelah dibuat kagum dengan kompleksitas La Vie Mode d'Emploi, Georges Perec kembali mengejutkan saya dengan novel tipis berjudul "Hal-Hal (Les Choses)". Kisah ini sebenarnya adalah kisah cinta muda-mudi bernama Jerome dan Sylvie. Seperti hubungan kisah cinta kebanyakan. Kedua pasangan ini mengalami kebuntuan.

        Kelesuan bangku kuliah, ditambah gaya hidup Parisien ini yang menekan hari-hari mereka. Jerome memutuskan melamar posisi pengajar di Tunisia, sedangkan kekasihnya mendampingi kehidupan baru mereka. 

         Mereka dengan sedikit lebih cermat, tanpa harus meninggalkan ke-Paris-an mereka, alhasil Jerome melamar posisi pengajar di Tunisia sedangkan Sylvie sebagai ibu rumah tangga.

        Gaya hidup bergelimang jelas tak sebanding dengan situasi mereka sebagai sepasang muda-mudi begajulan. Kondisi keuangan mereka tak kunjung membaik, berdampak pada hubungan keduanya. jauh lebih baik dari sebelumnya, sehingga menyebabkan mereka memutuskan rehat sejenak dari hubungan mereka.

         Novel ini kemudian menjadi semacam kisah sebuah generasi, Jerome dan Sylvie memandang hari-hari mereka di Paris pada akhir tahun 60an perlahan beranjak tergerogoti gaya hidup penuh kekosongan. Berlatar Paris di tahun 60-an, hari-hari mereka sebetulnya tak buruk-buruk amat di kala itu. Seperti halnya parisien, kehidupan mereka berkecukupan, memang tak cukup-cukup sekali. Setidaknya bisa untuk dipakai bersantai di kafe, pergi ke bioskop atau sekedar melepas kebosanan di akhir pekan. Sayangnya kebosanan jauh lebih besar dari hal apapun yang mereka bayangkan. Mereka menginkan kenyamanan hidup, namun kenyamanan itu pada akhirnya disamakan menjadi semacam kepemilikan.

        Ini sebuah kisah cinta cukup pahit yang terbentang di akhir tahun enam puluhan. Sang perempuan mendambakan kehidupan mapan, sedangkan sang lelaki terus dihantui dengan rasa penasaran dalam hari-harinya. Perec hadir seperti tak ingin memberikan sebuah solusi, dalam tema-tema kegemarannya, ia kerap menjadikan novel semacam puzzle.


D S

Saturday, 14 December 2024

Semoga Beruntung Satu Per Empat

Tulisan ini adalah sebuah pengakuan. Sebuah pengakuan yang kelak akan beririsan dengan banyak hal. Semenjak berjumpa single Ephemeral, saya tenggelam dengan karya-karya Satu Per Empat beberapa tahun silam. Perjumpaan itu kemudian membuat saya benar-benar menggandrungi mereka, sekaligus menenggelamkan saya lebih dalam terhadap grunge, yang tak pernah mampu saya sukai. Hal itu mereka sulap dan membuat saya tak sadar bila playlist saya hanya tentang musik mereka. Lebih jauh lagi mereka meretas keasingan di telinga terhadap grunge.  Lagu-lagu mereka seakan menjadi pengusir kebosanan  paling ampuh dan Pasca Falasi memiliki nilai urgensi yang besar bersanding dengan album-album penting di hidup saya bersama Badai Pasti Berlalu, Barisan Nisan, Ports of Lima dan Katus. Belum lagi mini album Lelucon Revivalis yang begitu istimewa juga tak bisa luput dari diskografi mereka

Baik, saya tak akan banyak berbicara soal  album debut dan mini album mereka, Pasca Falasi dan Lelucon Revivalis. Saya berjanji jika hal itu akan saya jadikan tulisan sendiri di lain waktu. Ijinkan saya di kesempatan ini merayakan album kedua mereka Semoga Beruntung Nasib Buruk yang dirilis sekitar dua minggu lalu. Semenjak Bismo Triastirtoaji beberapa waktu lalu menjanjikan saya sebuah zine yang dibagikan dalam hearing session album teranyar ini, saya menantinya bersama dirilisnya album utuh ini. Tak peduli berapa lama saya akan terus bersabar di dalam hati, sembari terus menonton video rekaman panggung terakhir mereka yang diunggah kanal pfvideoworks. Beruntung dokumentasi konser panjang mereka  bersama pemain basis utama mereka, Riga, masih bisa terus saya simak.

Disana "Realis" dan "Klenik" saya dengar untuk pertama kalinya. "Realis", setidaknya bagi saya, adalah lagu yang bercerita tentang kehidupan manusia di persimpangan jalan pada akhir usia duapuluh-an yang linglung dan pasrah, dalam kondisi mengenaskan. Sedangkan "Klenik" memiliki nuansa berbeda. Ia masih bernafaskan riff gitar agresif seperti lagu-lagu "Teorema", "Ephemeral" hingga "Supernova". Sangat menghentak dan menggembirakan.

Dua single itu menggedor telinga saya berulang-ulang dan masih belum cukup. Saya masih mau lebih namun diminta kembali bersabar hingga hari peluncuran album kedua itu. Antusiasme saya tak terbendung untuk mendengar perkembangan karya mereka. Track "Mati Tertawa"  adalah eksperimen menyenangkan bagi saya. Selepas Riga hengkang dan kini menjadikan mereka unit trio alternative rock, mereka  berani menyentuh area musik triphop dan bebunyian elektronik dengan keberanian dan resiko artistik yang penuh perhitungan. Namun track "Anta Permana" adalah yang teristimewa bagi saya. Lagu rock penuh kesederhanaan tentang sebuah rumah dan kehangatan keluarga, yang diakui sang vokalis dalam wawancara mereka di Jurno, sungguh menghangatkan semua perasaan remuk redam dalam hidup. Berlanjut pada track "Mira" yang juga masih memiliki marwah yang sama namun dengan sentuhan yang segar, bercerita tentang kebiadaban sekelompok oknum terhadap seorang transpuan yang memilukan, namun coba disuarakan untuk kesadaran bersama, agar tak jadi zalim kepada siapapun. Sisi kemanusiaan kita tak mungkin baik-baik saja mendengar nyawa seseorang bisa dimusnahkan dengan keji.

Pada nomor-nomor berikutnya kita bisa merasakan pendewasaan dalam "Jelaga", "Semoga Beruntung Nasib Buruk", "Nostos & Algia", dan "Jelaga". Sisi agresifitas mereka bertranformasi menjamah tempo dan warna yang baru namun tetap kontemplatif. Pendekatan dalam eksplorasi musik mereka ini amat menyenangkan, dan kelak saya meyakini bila mereka akan terus bermain-main pada area baru yang mereka inginkan di waktu mendatang sambil berharap nasib baik selalu menyertai mereka bertiga.

D S




Sunday, 1 December 2024

Sopra Pedro Pàramo di Juan Rulfo.

Il boom latino america è una oase per me. No penso mai un viago della letteratura molto profonda e anche ricco. E poí ho trovato Juan Rulfo con il suo romanzo Pedro Paramo. Un uomo sta cercando suo padre nel la citta serena e anche misterioso con la sua fantasma e memoria. Il suo padre, Pedro Paramo, è un uomo importante e bastardo nel stesso tempo perchè lui ha marrito con tanti donne e datto molti figli senza mantenere suo famiglia. Nel'altra parte, lui anche un diabolo che potevo ammazare suo enemigo. 

Il protagonista è un figlio di Pedro Paramo che torna à citta di Comala per cercare lui. Pero nel realità non è così simplice. Tutte le fantasme arrivano à lui per raccontare un messagio bizzaro, ma anchè orrore. Rulfo ha usato una maniera brilliante per provocare suoi lettori, perchè ci sono molto trame dove siamo portrebbe sbagliare di capire peró con questo erorre possiamo seguire alla fine storia.


Per Rulfo, Pedro Paramo è un libro difficile. La sua generazione non ha capito direttamente la visione della storia, pero un maestro per un maestro che si chiama Garcia Marquez, questo libro è molto felice e divertente. Pedro Paramo ha aiutato lui molto per creare Cien años de soledad. Marquez potevo raccontare questo libro dal tutta la parte. E dopo letto Pedro Paramo, lui ha iniziato à scrivere suo magnum opus, Cien años de soledad.


Nel mio punto di vista, Pedro Paramo quasi essere un romanzo perfetto dove nostra realita si rompe nel un momento fantastico, se noi siamo pronti per tonare à Comala e incontriamo con Pedro Paramo.


D S