Saturday, 14 December 2024

Semoga Beruntung Satu Per Empat

Tulisan ini adalah sebuah pengakuan. Sebuah pengakuan yang kelak akan beririsan dengan banyak hal. Semenjak berjumpa single Ephemeral, saya tenggelam dengan karya-karya Satu Per Empat beberapa tahun silam. Perjumpaan itu kemudian membuat saya benar-benar menggandrungi mereka, sekaligus menenggelamkan saya lebih dalam terhadap grunge, yang tak pernah mampu saya sukai. Hal itu mereka sulap dan membuat saya tak sadar bila playlist saya hanya tentang musik mereka. Lebih jauh lagi mereka meretas keasingan di telinga terhadap grunge.  Lagu-lagu mereka seakan menjadi pengusir kebosanan  paling ampuh dan Pasca Falasi memiliki nilai urgensi yang besar bersanding dengan album-album penting di hidup saya bersama Badai Pasti Berlalu, Barisan Nisan, Ports of Lima dan Katus. Belum lagi mini album Lelucon Revivalis yang begitu istimewa juga tak bisa luput dari diskografi mereka

Baik, saya tak akan banyak berbicara soal  album debut dan mini album mereka, Pasca Falasi dan Lelucon Revivalis. Saya berjanji jika hal itu akan saya jadikan tulisan sendiri di lain waktu. Ijinkan saya di kesempatan ini merayakan album kedua mereka Semoga Beruntung Nasib Buruk yang dirilis sekitar dua minggu lalu. Semenjak Bismo Triastirtoaji beberapa waktu lalu menjanjikan saya sebuah zine yang dibagikan dalam hearing session album teranyar ini, saya menantinya bersama dirilisnya album utuh ini. Tak peduli berapa lama saya akan terus bersabar di dalam hati, sembari terus menonton video rekaman panggung terakhir mereka yang diunggah kanal pfvideoworks. Beruntung dokumentasi konser panjang mereka  bersama pemain basis utama mereka, Riga, masih bisa terus saya simak.

Disana "Realis" dan "Klenik" saya dengar untuk pertama kalinya. "Realis", setidaknya bagi saya, adalah lagu yang bercerita tentang kehidupan manusia di persimpangan jalan pada akhir usia duapuluh-an yang linglung dan pasrah, dalam kondisi mengenaskan. Sedangkan "Klenik" memiliki nuansa berbeda. Ia masih bernafaskan riff gitar agresif seperti lagu-lagu "Teorema", "Ephemeral" hingga "Supernova". Sangat menghentak dan menggembirakan.

Dua single itu menggedor telinga saya berulang-ulang dan masih belum cukup. Saya masih mau lebih namun diminta kembali bersabar hingga hari peluncuran album kedua itu. Antusiasme saya tak terbendung untuk mendengar perkembangan karya mereka. Track "Mati Tertawa"  adalah eksperimen menyenangkan bagi saya. Selepas Riga hengkang dan kini menjadikan mereka unit trio alternative rock, mereka  berani menyentuh area musik triphop dan bebunyian elektronik dengan keberanian dan resiko artistik yang penuh perhitungan. Namun track "Anta Permana" adalah yang teristimewa bagi saya. Lagu rock penuh kesederhanaan tentang sebuah rumah dan kehangatan keluarga, yang diakui sang vokalis dalam wawancara mereka di Jurno, sungguh menghangatkan semua perasaan remuk redam dalam hidup. Berlanjut pada track "Mira" yang juga masih memiliki marwah yang sama namun dengan sentuhan yang segar, bercerita tentang kebiadaban sekelompok oknum terhadap seorang transpuan yang memilukan, namun coba disuarakan untuk kesadaran bersama, agar tak jadi zalim kepada siapapun. Sisi kemanusiaan kita tak mungkin baik-baik saja mendengar nyawa seseorang bisa dimusnahkan dengan keji.

Pada nomor-nomor berikutnya kita bisa merasakan pendewasaan dalam "Jelaga", "Semoga Beruntung Nasib Buruk", "Nostos & Algia", dan "Jelaga". Sisi agresifitas mereka bertranformasi menjamah tempo dan warna yang baru namun tetap kontemplatif. Pendekatan dalam eksplorasi musik mereka ini amat menyenangkan, dan kelak saya meyakini bila mereka akan terus bermain-main pada area baru yang mereka inginkan di waktu mendatang sambil berharap nasib baik selalu menyertai mereka bertiga.

D S




No comments:

Post a Comment