Friday, 20 September 2024

Esok dalam Pertempuran Pikirkan Aku, Javier Marias

 "Tak ada yang menyangka jika kelak kamu semua akan menemukan dirimu bersama perempuan yang tewas di lenganmu." Begitu ujar narator dalam buku Javier Marias berjudul "Mañana en la batalla piensa en mi" (dalam bahasa Indonesia kira-kira Esok Dalam Pertempuran Pikirkan Aku). Sekilas judulnya menyiratkan pesan perpisahan, namun itu tak berjalan sesingkat itu karena semua terjadi tanpa dikira. Lebih cepat dari sebuah pamitan.


Kencan Victor, sang tokoh utama, semestinya akan berjalan mengasyikan. Wanita pujaan hatinya mengundangnya ke sebuah jamuan malam. Makanan lezat menantinya, tak lupa sebotol wine untuk menghangatkan suasana sebelum menikmati sisa malam bercumbu dengan Marta, sang kekasih. Marta tak sendiri, anaknya berumur dua tahun terbaring di keranjang bayi, melihat laki-laki asing bercumbu bersama ibunya. Ia tak menyadari jika itu kelak akan menjadi kali terakhirnya melihat wajah sang ibu.

Jujur saya tak bisa berhenti membayangkan lekuk tubuh Marta. Sedang asik-asiknya bercinta maut datang amat cepat, bahkan untuk sekadar pamitan dengan anak kesayangannya yang baru berusia dua tahun. Terdengar begitu tragis memang. Siapa menginginkan dirinya merangkul jenazah kekasihnya, apalagi bila itu adalah seorang kekasih gelap. Rencana kencan berujung mengenaskan. Haruskah ia memberi tahukan kematian kekasih gelapnya kepada sang suaminya, atau terus membiarkandalam sebuah momen yang penting itu untuk berakhir begitu saja?

Victor memang malang luar biasa, namun tragedi ini tak dibiarkan hambar begitu saja oleh Marias. Setidaknya kematian saat berkencan itu, menjadi semacam permainan Marias. Ia mempermainkan emosi dalam "Mañana en la batalla piensa en mi" kesana kemari. Victor yang tengah kalang kabut dalam insiden ini, namun ia masih sempat memikirkan hal-hal konyol.

Kisah semacam ini sedikit mengingatkan pada novel tebal milik Stefan Zweig, Beware of Pity. Keduanya menceritakan kisah cinta yang cukup tragis, meski berbeda satu dengan yang lain. Tak ada cinta bertepuk sebelah tangan, namun disini ada kematian dalam sebuah jamuan makan malam. Bila Zweig memperlihatkan rasa kasihan akan membawa seseorang pada sebuah petaka, kali ini rasa kasihan dalam kisah Marias justru hadir seperti kejutan yang tak pernah dipikirkan siapapun.

Memperjuangkan cinta memang tak ubahnya sebuah pertempuran sengit dan  siapapun mungkin acap kali kehilangan sedikit atau banyak akal sehatnya. Itu kira-kira sedikit yang tersirat dalam kisah Marias. Cinta itu menjalar ke sekujur tubuh, seperti layaknya sebuah pertarungan dalam upaya penaklukan ambisi diri yang mungkin hingga esok mungkin ia masih memikirkanmu.


No comments:

Post a Comment